CategoriesUncategorized

The Song of Achilles: Perjalanan Hidup Seorang Pahlawan Yunani Sampai Penggambaran Queer Dalam Literatur Klasik

“I could recognize him by touch alone, by smell; I would know him blind, by the way his breaths came and his feet struck the earth. I would know him in death, at the end of the world.”

Identitas buku

Judul buku : The Song of Achilles

Penulis : Madeline Miller

Tebal buku : 416 halaman

Penerbit : HarperCollins

Tahun terbit : 2011

Novel pertama Madeline Miller yang berjudul “The Song of Achilles” yakni karya literatur modern mitologi Yunani yang mengisahkan kembali kehidupan Achilles, seorang pahlawan Yunani Kuno, yang tertulis pada puisi epik “Iliad” oleh Homer.

Sebagai karya literatur klasik yang mulanya disebarkan mulut ke mulut, “Iliad” sendiri menyebutkan perihal sebagian momen penting pada pekan-pekan terakhir Perang Troya dan pengepungan Yunani atas Kota Troya.

Padahal berjudul “The Song of Achilles”, novel ini tak serta-merta berkonsentrasi pada kehidupan Achilles sebagai pangeran Phthia sekalian pahlawan Perang Troya, tapi juga menyebutkan dinamika kekerabatan Achilles dan Patroclus yang dinarasikan via sudut pandang Patroclus.

Cerita bermula dengan pengenalan tokoh Patroclus, putra Raja Menoetius dari kerajaan Opus. Berbeda dengan ayahnya, sifat canggung slot gacor hari ini Patroclus ditambah fisiknya yang lemah membikin dirinya tak terlihat dibandingi dengan pangeran muda dari kerajaan lain sehingga Patroclus menjadi sumber kekecewaan ayahnya.

Pada umur sembilan tahun, Patroclus diperintahkan Raja Menoetius untuk mengajukan diri sebagai pelamar Helen dari Sparta. Di situ, segala pangeran dan raja yang hendak meminang Helen seharusnya menyuarakan Sumpah Tyndareus. Isi dari Sumpah Tyndareus terdiri dari ikrar untuk menjunjung tinggi opsi Helen serta untuk membela suaminya kepada seluruh yang bermaksud mengambil Helen darinya.

Kekecewaan Raja Menoetius kepada Patroclus memuncak saat tersiar berita bahwa Patroclus sudah membunuh seorang buah hati ningrat sewaktu bermain dadu. Padahal penghilangan nyawa orang lain hal yang demikian tak dilaksanakan dengan sengaja, Patroclus seketika diasingkan ke Phthia di mana dia mulai tinggal di istana Raja Peleus bersama sejumlah buah hati laki-laki lainnya dengan nasib yang sama. Di sana, dia berkenalan dengan Achilles yang yakni manusia separo dewa, yang mana dia yaitu buah hati dari Raja Peleus dan Thetis, sang dewi laut.

Awalnya, Patroclus terus menyendiri sebab cerita mengenai pengasingannya dari Opus. Budaya hal yang demikian acap kali membuatnya merasa tak nyaman. Hubungan itu terus berlanjut sampai suatu hari Achilles menemui Patroclus dalam persembunyiannya dan berbincang dengannya. Achilles malahan menciptakan Patroclus sebagai pendampingnya. Sesudah keduanya kian dekat seiring waktu, secara khusus sesudah menghabiskan tiga tahun bersama di Gunung Pelion.

Kala tersiar berita bahwa Helen dari Sparta sudah diculik oleh Paris dari Troya, Achilles diperintahkan Raja Peleus untuk memimpin pasukan Yunani guna berperang melawan Troya demi mengembalikan Helen. Patroclus juga semestinya berkontribusi dalam Perang Troya, seturut dengan isi Sumpah Tyndareus. Terbelah antara cinta dan rasa takut, Patroclus konsisten loyal menemani Achilles sepanjang perjalanannya menuju Troya, padahal dirinya dikelilingi kecemasan sebab mengenal ramalan akan kematian Achilles di Troya.

Hubungan bergabung dengan pasukan Yunani, perselisihan antara Achilles dan Agamemnon memanas. Budaya ini berujung dengan keputusan Achilles untuk memisahkan dirinya beserta pasukannya dalam perang. Merasa putus hasrat, Patroclus menyamar sebagai Achilles dan turut menempatkan dirinya dalam perang. Sekalipun Patroclus sukses membunuh salah satu prajurit terkuat Troya, nyawanya usai diambil oleh Hector, pemimpin pasukan Troya.

Kematian Patroclus memberikan luka yang dalam pada Achilles. Achilles kemudian melepaskan egonya dan kembali berperang, membunuh Hector dengan penuh rasa dendam. Sejumlah prajurit Troya tewas di tangan Achilles, sampai baru-baru ini Achilles dibunuh oleh Paris. Dalam kematian, Patroclus menghabiskan waktunya menatap makam Achilles, hingga pada alhasil jiwa mereka bersatu dalam kematian.

Representasi Queer dalam Literatur Klasik

Novel “The Song of Achilles” berupaya menyebutkan kembali karya epos “Iliad” oleh Homer dengan mengambil pendekatan yang berbeda. Madeline Miller menerapkan pendekatan romantis perihal kisah klasik pahlawan dalam Mitologi Yunani. Sesudah antara Patroclus dan Achilles menjadi inti dari novel hal yang demikian.

Dalam karya sastra klasik, Homer tak pernah secara eksplisit membuktikan kekerabatan romantis antara Patroclus dan Achilles, malahan orientasi seksual Achilles tak pernah didefinisikan. Bermacam mengenai hubungan antara Patroclus dan Achilles yang bersifat romantis telah menjadi interpretasi lazim, seperti pada “The Song of Achilles” yang secara eksplisit mendeskripsikan intimasi antara kedua lelaki hal yang demikian layaknya sepasang kekasih.

Sesudah antara Patroclus dan Achilles tak senantiasa dibalut sukacita. Pada jangka waktu Perang Troya, perselisihan antara keduanya memuncak dikarenakan Achilles memiliki ego yang tinggi sebagai sosok pemimpin, walaupun Patroclus berharap Achilles mengalah pada Agamemnon demi kebaikan pasukan Yunani. Achilles memperkenankan egonya menumbangkan rasa cintanya pada Patroclus yang usai dengan kematian Patroclus. Penyesalan yang dinikmati Achilles menghancurkan kemauannya untuk menjadi pemimpin yang dihormati, malahan dia minta supaya jasadnya dikuburkan berdampingan dengan jasad Patroclus.

Gaya bahasa puitis yang diaplikasikan Madeline Miller pada “The Song of Achilles” sukses mengemas jalinan kisah asmara kuno dengan bagus. Penulis cakap memberikan ilustrasi terang perihal kehidupan masyarakat Yunani Kuno via kabar yang sudah diselidiki secara mendalam sehingga pembaca tak perlu membaca “Iliad” secara khusus dulu untuk paham suasana ataupun tokoh-tokoh yang terlibat dalam Perang Troya.

metafora yang dinarasikan menerapkan sudut pandang Patroclus di satu sisi memberikan kesan slot888 bahwa pandangan Patroclus adakalanya bercampur dengan pandangan penulis. Patroclus yang masih berusia sepuluh tahun mendeskripsikan Achilles menerapkan kosa kata yang menempatkan dirinya layaknya orang dewasa yang sedang mendeskripsikan buah hati kecil.

Adapun keterlibatan karakter dalam momen perang maupun perkawinan dengan umur yang relatif muda membikin novel ini cuma dapat dibaca untuk kalangan umur tertentu.

Di balik seluruh kekurangan novel hal yang demikian, “The Song of Achilles” konsisten cakap membawakan asmara yang cantik dalam setting kisah klasik Yunani Kuno sehingga layak untuk dibaca oleh penggemar Mitologi Yunani ataupun orang-orang yang berharap mempelajari tokoh Achilles dan Patroclus dalam Perang Troya.

Leave a Reply